TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Ada komunitas anak-anak Yogyakarta yang mempunyai gaya hidup berbeda, pilihan itu tidak hanya sekedar bergaya. Namun gaya hidup yang bermakna. Komunitas Sepeda Tinggi Yogyakarta mempunyai misi, yaitu “go green”, bagaimana mengurangi konsumsi bahan bakar minyak yang akhirnya mengurangi emisi. Mereka memilih sepeda sebagai alat transportasi. Namun, tidak sekedar sepeda biasa atau sepeda keluaran pabrik yang harganya bisa selangit. Komunitas ini justru membuat model sepeda yang unik: sepeda dengan ukuran tinggi bahkan sangat tinggi. Ukuran tingginya antara 1,5 meter hingga 3 meter. Bahannya pun juga berdasarkan prinsip “go green”, yaitu mengurangi rongsokan besi tua bekas sepeda yang sudah menumpuk di tukang rongsok. Komunitas ini meminta salah satu dari penggemar sepeda tinggi untuk merangkai tergantung selera dan bahan rongsokan yang didapat.
“Prinsipnya kami mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dan sampah rongsokan besi tua di kota, kita rangkai menjadi sepeda yang berbeda sebagai gaya hidup kami,” kata Theodore Hendra Aditya, 20 tahun, salah satu penggemar sepeda tinggi di Yogyakarta.
Ia mengisahkan, pada akhir 2006, para pengguna sepeda di jalanan Yogyakarta semakin terpinggirkan oleh kendaraan bermotor. Bahkan pengguna kendaraan bermotor tidak mau mengalah atau memprioritaskan sepeda untuk mendapatkan jalan dengan aman. Apalagi pinggir jalan aspal di tengah kota banyak yang digunakan untuk parkir kendaraan roda empat. Belum lagi saat ini lajur jalan paling kiri digunakan untuk bus Trans Jogja.
Lalu dengan sepeda tinggi berbeda kasusnya. Justru para pengemudi kendaraan bermotor memberi perhatian yang lebih dengan memberi jalan dan mengagumi para “high rider” tersebut. Orang yang melihatpun tak henti melotot dengan terheran, kok sepeda dengan ukuran sangat tinggi bisa dinaiki. Di sisi lain, ada juga orang yang mengikuti para penggemar sepeda tinggi ini untuk mengetahui bagaimana cara turunnya. Bahkan ada juga yang berharap, bagaimana jika jatuh.
Munculnya komunitas penggemar sepeda berukuran jangkung ini yaitu berawal pada akhir 2006. Ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Eropa dan Amerika yang berkampanye soal pengurangan penggunaan bahan bakar minyak dan sampah kota. Mereka berkeliling dunia dengan sepeda tinggi. Tak luput Yogyakarta sebagai kota budaya disambangi orang-orang LSM tersebut. Tangan bersambut. Para penggemar sepeda di Yogyakarta menangapi dengan “hunting” rongsokan di beberapa pasar loak di sekitar Yogyakarta. Ternyata bahan yang dibutuhkan pun sangat banyak. Maka jadilah mereka merancang sepeda lalu hunting rongsokan sebagai bahan sepeda tinggi.
Sepeda tinggi di Yogyakarta jumlahnya masih terbatas. Selain modelnya yang sangat jangkung, cara mengendarainya pun harus dengan teori yang benar. Sebab untuk naik saja sangat sulit. Namun jika sudah tahu teorinya, sangat mudah untuk mengendarainya.
Jumlah pemilik sepeda tinggi di Yogyakarta baru ada 30 orang. Sedangkan yang aktif ada 23 orang. Mereka sering berkumpul di dua titik, yaitu di perempatan Tugu dan kilometer nol Yogyakarta.
Banyak orang yang penasaran, bagaimana cara naik dan turun dari sepeda tinggi itu. Atau bagaimana jika akan melewati perempatan jalan yang ada lampu merahnya. Jawabannya sederhana. “Di setiap lampu merah ada angka hitungan, kita bisa memperkirakan kapan lampu hijau menyala, bisa juga jika ada tiang kita memegangnya, kalau memang terpaksa ya turun saja,” kata Wahyu Putri, 24 tahun alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Di komunitas Sepeda Tinggi ini tidak ada ketua, yang ada hanya bendahara untuk mengurusi keuangan yang sering didapat dari sponsor untuk kegiatan sosial. Komunitas ini sering melakukan couching safety riding sepeda tinggi kepada komunitas sepeda yang lain di Yogyakarta yang berjumlah lebih dari 50 komunitas.
Komunitas Sepeda Tinggi ini pernah melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju Surakarta beberapa bulan yang lalu. sebanyak 16 orang dengan sepeda jangkung menelusuri jalan raya yang padat kendaraan selama tujuh jam untuk menempuh jarak 65 kilometer.
“Memang kita mengendarai sepeda dengan santai, apalagi jika ada sepeda teman yang rusak, maka kita saling membantu memperbaikinya, kita selalu siap perkakas yang dibutuhkan untuk kepeluan perbengkelan sepeda,” kata Koko, mahasiswa Akademi Perindustrian Yogyakarta.
Menurut salah satu penggemar dan perakit sepeda tinggi Sariyanto, 26 tahun, untuk membuat sepeda tinggi harus dibuat sket rancangannya lalu baru mencari rongsokan sepeda di pasar loak, yang paling banyak berada di Berbah, Sleman. Setelah menemukan barang yang dibutuhkan seperti rangka sepeda, rantai, gear, stir dan lain-lain, maka dirakit dengan las. Para penggemar bisa memilih sendiri ukuran tinggi dan bentuk sepeda yang diinginkan seperti sket awal. Untuk biaya barang rongsokan dan merakit sepeda hanya dibutuhkan biaya di bawah Rp 500 ribu.
Pelopor pembuat sepeda tinggi Yogyakarta adalah Dhomas Kampret Yudistiro, dari studio Kelir Yogyakarta yang terinspirasi oleh aktivitas Piero, salah satu anggota LSM dari Italia. Atom, panggilan akrab Sariyanto yang jebolan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) memodifikasi dan merangkai benda-benda rongsok jadi sepeda tinggi. Waktu merakit sepeda sebenarnya cukup singkat yaitu sekitar seminggu. Namun waktu bisa molor, karena anggota komunitas harus mencari dan memilah barang rongsok di daerah Berbah Sleman untuk dapat di-recycle jadi sepeda yang diinginkan.
Model, warna dan aksesoris yang dibuat tergantung seperti keinginan pemesan yang tak tain adalah anggota komunitas. Atom mengerjakan modifikasi sepeda, di bengkelnya yang ada di Jl Titibumi, Godean, Sleman Yogyakarta. Selain sepeda tinggi, ia juga mengerjakan pesanan sepeda low rider yang juga trend dan banyak diminati anak-anak muda.
Untuk keamanan bersepeda, rem selalu terpasang di kedua sisi stang. Tinggi rendah sepeda, sangat tergantung dari desain dan rangka yang digunakan. Ada yang menggunakan dua rangka sepeda BMX, atau dua rangka sepeda gunung dengan memodifikasi bagian tertentu agar aman dipergunakan saat berkeliling kota. Ada juga yang ditambah dengan besi baja.
“Porok dan steer harus simetris, kalau tidak simetris maka tidak nyaman dikendarai, remunerasi harus pakem, karena keamanan bersepeda sangat kami perhatikan,” kata Atom.